Problematika Guru Honorer, Pahlawan Kurang Diperhatikan



Guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan hal tersebut terdapat dalam sebuah lagu dengan lirik yang indah dan menghanyutkan. Namun, sayangnya belum semua guru dapat dikatakan sejahtera untuk menjalani hidup dari pendapatan yang diperoleh dengan menjadi seorang guru saja. Hal tersebut, jauh dari perspektif guru yang memegang peran penting dalam menciptakan generasi bangsa, serta tidak seindah lagu yang diciptakan untuk seorang guru itu sendiri.

Pada tahun 2020, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Indonesia terdapat 937.228 orang guru Non-PNS,  dan sebagian besar merupakan guru honorer yang berjumlah 728.461 orang.

Seorang guru dengan sebutan pahlawan tanda jasa yang memiliki tugas untuk membentuk generasi bangsa, memiliki pola pikir, serta berperilaku yang manusiawi tapi justru kurang diperhatikan. Menjadi guru honorer merupakan sebuah elegi yang nyata namun tidak dapat ditinggalkan, hanya menunggu kepastian untuk memiliki kesempatan menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Apabila dilihat dari hak dan kewajiban menjadi sebagai guru, tentu menjadi guru honorer masih jauh dari kata seimbang. Pada umumnya guru honorer akan mendapat gaji 200 ribu sampai 300 ribu perbulan atau dibayarkan sesuai jumlah jam pelajaran yang diberikan kemudian akan dibayarkan tiga bulan sekali. Dalam hal ini, kita menyoroti khusus pada pekerjaan dan pendapatan guru honorer, tidak beserta pekerjaan sampingan, karena hal tersebut dapat berbeda konteks dari pembahasan hak guru honorer yang mengajar di sebuah sekolah.

Terdapat banyak sekali guru honorer yang tetap bertahan selama puluhan tahun dengan gaji seadanya, bahkan jauh untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dengan harapan dapat menjadi Guru PNS, mengharapkan kesejahteraan di masa tua. Tetapi begitu tragis, seakan-akan pemerintah begitu apatis terhadap guru honorer yang masih bertahan untuk melakukan pembelajaran selama ini. Dalam persepektif berbeda, mungkin terdapat guru yang bertahan karena kecintaannya menjadi seorang guru, seperti yang terdapat pada Hadist Riwayat Bukhari, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”. Namun, alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pengampu kebijakan untuk tidak memperhatikan guru honorer yang selama ini telah mengabdi untuk negeri.

Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan bangsa Indonesia yang tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, seharusnya dukungan penuh dapat diberikan kepada seluruh bagian yang terdapat di dalam proses pendidikan salah satunya yaitu guru honorer.

Dewasa ini, digaungkan kebijakan yang dikeluarkan dengan tajuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kebijakan PPPK tersebut apabila kita cermati lebih lanjut tidak lebih seperti buruh kontrak yang berlabel Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian di dalam ikatan kerja bagi seorang guru di masa tua.

 Pemerintah seakan-akan hanya ingin memenuhi kewajiban untuk mengaburkan masalah tuntutan guru honorer yang terlalu lama tidak diberikan kepastian, dengan memberikan solusi yang sekiranya dapat menampung guru honorer dalam jumlah yang jauh lebih banyak.

Namun, kebijakan tersebut bukan solusi yang sepenuhnya tepat, karena kebijakan tersebut dapat dianalogikan sebagai sampah yang di sembunyikan, tidak terlihat akan tetapi pada suatu saat bau akan merayap kesegala arah. Bagaimana apabila PPPK yang diharapkan menjadi penyelesaian keinginan guru honorer yang ingin diberikan kesempatan untuk menjadi PNS, namun pada suatu saat berkemungkinan menurunkan minat generasi milenial untuk menjadi guru?. Seharusnya kita berkaca dengan penurunan jumlah petani yang terus terjadi di Indonesia yang menjadi bagian penting dalam menjaga ketersediaan pangan, guru juga merupakan aspek penting dalam proses pendidikan, mendidik dan memberikan pembelajaran kepada peserta didik untuk menjadi lebih baik.

Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bukan berarti cukup diberikan apresiasi yang seadanya serta tidak diberikan perhatian yang lebih. Guru honorer di Indonesia sendiri, lebih dari setengah dari jumlah keseluruhan guru yang ada Indonesia, sehingga keberadaan guru honorer sangat membantu proses pendidikan di Indonesia terkhusus di daerah pedesaan dan pelosok.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan serta memberikan keadilan sesuai nilai sila ke-5, yang berbunyi, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan untuk memberikan kesempatan yang sama untuk seluruh masyarakat Indonesia, memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh guru honorer di Indonesia sehingga memiliki probabilitas untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, bukan menghilangkannya serta mengganti dengan kebijakan yang bernama PPPK, tentu hal tersebut melenceng dari aspirasi guru honorer selama ini.

Tidak semua guru honorer dapat menjadi guru berlabel Pegawai Negeri Sipil dalam waktu yang bersamaan dikarenakan anggaran yang akan melebihi kapasitas, akan tetapi setidaknya guru honorer mendapatkan probabilitas yang lebih besar tanpa menghilangkan kesempatan calon guru yang baru menyelesaikan masa studi. Pemerintah perlu mempertimbangkan supaya guru honorer tetap memiliki kemungkinan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil bukan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Problematika guru honorer telah lama belarut-larut dan mengendap di sendi-sendi pendidikan, bahkan sampai bangsa Indonesia telah menyentuh tujuh puluh enam tahun kemerdekaannya. Seharusnya, para guru honorer yang telah mengabdi belasan ataupun puluhan tahun telah merasakan kemerdekaannya menjadi seorang guru yang memiliki jasa di dalam pendidikan negara Indonesia. Guru honorer perlu lebih diperhatikan dari segi keadilan serta kelayakan hidup, sehingga menjadikan seluruh guru di Indonesia merasakan kemerdekaan yang seutuhnya.

 

Lampung Tengah, 26 Agustus 2021 


Post a Comment for "Problematika Guru Honorer, Pahlawan Kurang Diperhatikan"